Sabtu, 21 Juli 2018

MBOK JAMU


-Mbok Jamu-
   Suara ayam berkokok saling beradu. Sepasang mata dengan kerutan di kelopaknya mulai bergerilya. Lantunan peralatan dapur bernyanyi terdengar  jelas di telinga. Mbok Sudro penjajak jamu keliling yang hampir enam puluh tahun lamanya. Sudah sejak umur sembilan belas tahun Mbok Sudro berjualan jamu tradisional keliling dari desa ke desa. Resep warisan turun temurun dari sang ibu masih Mbok Sudro jaga hingga sekarang ini.

   Wewangian rempah-rempah khas jawa menyerbak keseluruh penjuru dapur. Tangan lentik itu menari begitu indah di setiap racikan jamu. "Bu, kok tumben-tumbenan sampun wungu?" suara gadis terdengar serak. Mata yang masih terlihat sangat mengantuk dipaksakannya untuk tetap terjaga.

   "Iyo iki nduk, ibu arep mutere luwih esuk," ujar Mbok Sudro menjelaskan. Langkah kaki wanita muda menghampiri tumpukan rempah-rempah di atas meja. Wanita berkulit sawo matang itu mulai membaur dengan dinginnya dapur. Seperti halnya Mbok Sudro, Lastri panggilan wanita itu mulai meracik jamu tanpa aba-aba dari sang ibu. Sudah sejak kecil Lastri selalu membantu ibunya melakukan aktifitas di dapur. Sang ayah yang sudah meninggalkan Lastri sejak  berumur lima tahun menjadikan Lastri merasa bertanggung jawab atas ibunya.

   Tangan kecilnya terlihat berwarna kuning kerena kunyit di genggamannya. Tangan itu terus memeras parutan berwarna kuning itu. Air kuning keruh mengalir bersamaan dengan genggaman yang dikuatkan. "Ibu, damele jamu kok kathah sanget dinten niki?" kata Lastri penasaran.

   "Koe bibar iki lak yo butuh duet luwih, dadine ibu gawe jamune rodo akeh ben payune luwih soko biasane." Mbok Sudro menatap Lastri. Keluarga kecil ini begitu sederhana. Rasa syukur selalu keluarga ini terapkan di dalam kondisi apapun. Walaupun hanya bermodalkan berjualan jamu tradisional namun, Mbok Sudro dapat menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Cita-cita yang sangat mulia Mbok Sudra tidak ingin melihat anaknya mewarisi resep jamunya. Mbok Sudro sangat berharap anak perempuan semata wayangnya dapat sukses melebihi dirinya.

   Jamu warna-warni kini telah siap di jajakan. Pakaian khas Jawa sudah melekat indah di tubuh paruh baya Mbok Sudro. Kain batik dengan atasan kebaya menjadi ciri khasnya menjajakan jamu. Botol berisi jamu tersusun rapi dengan tenggok coklat yang menyelimuti. Dengan selendang lusuh pemberian suami tercinta Mbok Sudro menggendong jamunya berkeliling dari desa ke desa. Hanya selendang itu yang selalu membuat Mbok Sudro ingat dengan sang suami tercinta.

   "Nduk, ibu mangkat sik ya," suara mbok Sudro berpamitan. Tanpa jawaban Lastri menatap punggung rapuh tetapi sangat kuat itu. Hatinya terasa sakit, sakit yang tidak bisa dijelaskan lagi. Melihat semangat ibunya Lastri berjanji dengan dirinya sendiri, ia akan selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk sekolahnya.

   "Jamu, jamu," pekik mbok Sudro. "Jamune Pak, Buk!" lanjutnya. Langkah kakinya terus berjalan di bawah teriknya sinar sang surya. Butiran air jatuh membasahi wajah tuanya. Namun, semangat dalam dirinya mengalahkan semua rintangan yang menghalangi.

   "Mbok...Mbok Sudro tumbas jamunipun," suara berat pria terdengar memanggil. Dihentikannya langkah kakinya untuk memenuhi panggilan itu.

   "Eh Pak Lurah, monggo pak jamunipun! Badhe ngunjuk jamu menapa Pak?"   Mbok Sudro menurunkan beda coklat dari punggunya.
   "Jamu koyo biasane mawon Mbokk."
   "Oalaah, jamu godhong kates kalih beras kencur nggih pak."  
   "Inggih Mbok leres sanget," jelas Pak Lurah dengan senyuman tipis di bibirnya.

   Satu persatu pelanggan berdatangan dan mengantri meminum jamu Mbok Sudro. Mbok Sudro memang sudah memiliki pelanggan tetap di setiap harinya. Perlahan namun pasti mbok Sudro meracikan setiap permintaan jamu pelanggannya. Senyuman tipis terlihat merekah di bibir Mbok Sudro. Hatinya merasakan kebahagiaan yang teramat sangat melihat semua pelanggannya menikmati racikan jamunya.

   Ucapan syukur terus mengalir di dalam hatinya. Rejeki yang Mbok Sudro terima hari ini sangat melimpah. Tidak akan ada hasil yang menghianati sebuah perjuangan. Secara tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi dari arah timur. Mbok Sudro yang masih sibuk menggendong tenggoknya  terserempet oleh motor dengan anak muda di atasnya. Jamu bertebaran tumpah di mana-mana. Pecahan gelas kaca dan botol kaca tergeletak begitu saja di aspal hitam.

   Mbok Sudro tersungkur dan mengaduh kesakitan. Sepeda motor itu tidak menggubris sama sekali. Pacuannya semakin kencang meninggalkan Mbok Sudro. Pembeli dan warga yang menyaksikan kejadian itu segera menghampiri Mbok Sudro dan membantunya.

    "Gusti Allah," pekik mbok Sudro sambil bangkit dari jatuhnya.
   "Mbok,simbok mboten nopo-nopo to?" ucap Puji salah satu pelanggan mencoba membantu wanita tua berjarik itu bangkit dari tersungkurnya. Tanpa menjawab pertanyaan itu Mbok Sudro hanya tersenyum mengiyakan.

   "Bocah jaman saiki kok ra duwe tata krama blas. Arep digowo menyang ngendi negara iki yen bocah-bocah enom ora ndue tata krama." Pak Lurah tampak geram menyaksikan kejadian tak bermoral di depan matanya secara langsung
   "Sampun Pak Lurah, kula mboten napa,"  ucap Mbok Sudro mengikhlaskan.

   Anak jaman sekarang memang kekurangan moral. Banyak anak muda bertindak seenaknya. Melihat kesabaran dan ketabahan Mbok Sudro warga yang melihat begitu kagum dibuatnya. Rejeki dan musibah sudah ada yang mengatur. Walaupun hari ini Mbok Sudro mengalami kerugian namun, Mbok Sudro ikhlas lahir batin. Hati Mbok Sudro memang sangat besar, Mbok Sudro tau dirinya sedang membutuhkan banyak uang untuk anaknya melanjutkan sekolah. Tetapi Mbok Sudro yakin cobaan ini adalah peringatan dari Tuhan agar kita sebagai manusia tidak boleh terlalu serakah.

0 komentar:

Posting Komentar