-Mbok
Jamu-
Suara ayam berkokok saling beradu. Sepasang
mata dengan kerutan di kelopaknya mulai bergerilya. Lantunan peralatan dapur
bernyanyi terdengar jelas di telinga.
Mbok Sudro penjajak jamu keliling yang hampir enam puluh tahun lamanya. Sudah
sejak umur sembilan belas tahun Mbok Sudro berjualan jamu tradisional keliling
dari desa ke desa. Resep warisan turun temurun dari sang ibu masih Mbok Sudro jaga
hingga sekarang ini.
Wewangian rempah-rempah khas jawa menyerbak
keseluruh penjuru dapur. Tangan lentik itu menari begitu indah di setiap racikan
jamu. "Bu, kok tumben-tumbenan sampun wungu?" suara gadis terdengar
serak. Mata yang masih terlihat sangat mengantuk dipaksakannya untuk tetap
terjaga.
"Iyo iki nduk, ibu arep mutere luwih
esuk," ujar Mbok Sudro menjelaskan. Langkah kaki wanita muda menghampiri
tumpukan rempah-rempah di atas meja. Wanita berkulit sawo matang itu mulai
membaur dengan dinginnya dapur. Seperti halnya Mbok Sudro, Lastri panggilan
wanita itu mulai meracik jamu tanpa aba-aba dari sang ibu. Sudah sejak kecil Lastri
selalu membantu ibunya melakukan aktifitas di dapur. Sang ayah yang sudah
meninggalkan Lastri sejak berumur lima
tahun menjadikan Lastri merasa bertanggung jawab atas ibunya.
Tangan kecilnya terlihat berwarna kuning
kerena kunyit di genggamannya. Tangan itu terus memeras parutan berwarna kuning
itu. Air kuning keruh mengalir bersamaan dengan genggaman yang dikuatkan.
"Ibu, damele jamu kok kathah sanget dinten niki?" kata Lastri
penasaran.
"Koe bibar iki lak yo butuh duet luwih,
dadine ibu gawe jamune rodo akeh ben payune luwih soko biasane." Mbok Sudro
menatap Lastri. Keluarga kecil ini begitu sederhana. Rasa syukur selalu
keluarga ini terapkan di dalam kondisi apapun. Walaupun hanya bermodalkan
berjualan jamu tradisional namun, Mbok Sudro dapat menyekolahkan anaknya
setinggi mungkin. Cita-cita yang sangat mulia Mbok Sudra tidak ingin melihat
anaknya mewarisi resep jamunya. Mbok Sudro sangat berharap anak perempuan
semata wayangnya dapat sukses melebihi dirinya.
Jamu warna-warni kini telah siap di jajakan.
Pakaian khas Jawa sudah melekat indah di tubuh paruh baya Mbok Sudro. Kain
batik dengan atasan kebaya menjadi ciri khasnya menjajakan jamu. Botol berisi
jamu tersusun rapi dengan tenggok coklat yang menyelimuti. Dengan selendang
lusuh pemberian suami tercinta Mbok Sudro menggendong jamunya berkeliling dari
desa ke desa. Hanya selendang itu yang selalu membuat Mbok Sudro ingat dengan
sang suami tercinta.
"Nduk, ibu mangkat sik ya," suara
mbok Sudro berpamitan. Tanpa jawaban Lastri menatap punggung rapuh tetapi
sangat kuat itu. Hatinya terasa sakit, sakit yang tidak bisa dijelaskan lagi.
Melihat semangat ibunya Lastri berjanji dengan dirinya sendiri, ia akan selalu
berusaha memberikan yang terbaik untuk sekolahnya.
"Jamu, jamu," pekik mbok Sudro.
"Jamune Pak, Buk!" lanjutnya. Langkah kakinya terus berjalan di bawah
teriknya sinar sang surya. Butiran air jatuh membasahi wajah tuanya. Namun,
semangat dalam dirinya mengalahkan semua rintangan yang menghalangi.
"Mbok...Mbok Sudro tumbas jamunipun,"
suara berat pria terdengar memanggil. Dihentikannya langkah kakinya untuk
memenuhi panggilan itu.
"Eh Pak Lurah, monggo pak jamunipun!
Badhe ngunjuk jamu menapa Pak?" Mbok Sudro menurunkan beda coklat dari punggunya.
"Jamu koyo biasane mawon Mbokk."
"Oalaah, jamu godhong kates kalih beras
kencur nggih pak."
"Inggih Mbok leres sanget," jelas
Pak Lurah dengan senyuman tipis di bibirnya.
Satu persatu pelanggan berdatangan dan mengantri
meminum jamu Mbok Sudro. Mbok Sudro memang sudah memiliki pelanggan tetap di
setiap harinya. Perlahan namun pasti mbok Sudro meracikan setiap permintaan
jamu pelanggannya. Senyuman tipis terlihat merekah di bibir Mbok Sudro. Hatinya
merasakan kebahagiaan yang teramat sangat melihat semua pelanggannya menikmati
racikan jamunya.
Ucapan syukur terus mengalir di dalam hatinya.
Rejeki yang Mbok Sudro terima hari ini sangat melimpah. Tidak akan ada hasil
yang menghianati sebuah perjuangan. Secara tiba-tiba sebuah sepeda motor melaju
dengan kecepatan tinggi dari arah timur. Mbok Sudro yang masih sibuk menggendong
tenggoknya terserempet oleh motor
dengan anak muda di atasnya. Jamu bertebaran tumpah di mana-mana. Pecahan gelas
kaca dan botol kaca tergeletak begitu saja di aspal hitam.
Mbok Sudro tersungkur
dan mengaduh kesakitan. Sepeda motor itu tidak menggubris sama sekali.
Pacuannya semakin kencang meninggalkan Mbok Sudro. Pembeli dan warga yang menyaksikan
kejadian itu segera menghampiri Mbok Sudro dan membantunya.
"Gusti Allah," pekik mbok Sudro
sambil bangkit dari jatuhnya.
"Mbok,simbok mboten nopo-nopo to?"
ucap Puji salah satu pelanggan mencoba membantu wanita tua berjarik itu bangkit
dari tersungkurnya. Tanpa menjawab pertanyaan itu Mbok Sudro hanya tersenyum
mengiyakan.
"Bocah jaman saiki kok ra duwe tata
krama blas. Arep digowo menyang ngendi negara iki yen bocah-bocah enom ora ndue
tata krama." Pak Lurah tampak geram menyaksikan kejadian tak bermoral di
depan matanya secara langsung
"Sampun Pak Lurah, kula mboten napa," ucap Mbok Sudro mengikhlaskan.
Anak jaman sekarang memang kekurangan moral.
Banyak anak muda bertindak seenaknya. Melihat kesabaran dan ketabahan Mbok
Sudro warga yang melihat begitu kagum dibuatnya. Rejeki dan musibah sudah ada
yang mengatur. Walaupun hari ini Mbok Sudro mengalami kerugian namun, Mbok
Sudro ikhlas lahir batin. Hati Mbok Sudro memang sangat besar, Mbok Sudro tau
dirinya sedang membutuhkan banyak uang untuk anaknya melanjutkan sekolah. Tetapi
Mbok Sudro yakin cobaan ini adalah peringatan dari Tuhan agar kita sebagai
manusia tidak boleh terlalu serakah.